Sudah menjadi permakluman bersama di manapun, termasuk di Indonesia,
sebuah pengajaran “Sejarah Nasional” ditujukan untuk meyakinkan warga
negaranya bahwa negara yang menjadi tempat hidup mereka adalah sebuah
negara yang sah dan layak untuk diberi dukungan sepenuhnya. Pembelaan
dan dukungan terhadap negara atau “nasionalisme” merupakan buah yang
ingin diperoleh dari pengajaran sejarah.
Di Indonesia keinginan
ini terlihat dalam kurikulum pengajaran sejarah sejak pelajaran sejarah
Indonesia ditetapkan sekitar tahun 1950-an. Terakhir, dalam standar isi
pelajaran yang diterbitkan BNSPI (Badan Nasional Standarisasi Pendidikan
Indonesia) melalui Kepmen No. 22 tahun 2006 disebutkan tujuan
pengajaran sejarah antara lain untuk: menumbuhkan pemahaman peserta
didik terhadap proses terbentuknya bangsa Indonesia melalui sejarah yang
panjang dan masih berproses hingga masa kini dan masa yang akan datang;
dan menumbuhkan kesadaran dalam diri peserta didik sebagai bagian dari
bangsa Indonesia yang memiliki rasa bangga dan cinta tanah air yang
dapat diimplementasikan dalam berbagai bidang kehidupan baik nasional
maupun internasional. (tujuan pelajaran sejarah untuk SMA no. 4 dan 5).
Tujuan seperti di atas memang wajar dikehendaki oleh suatu Negara.
Akan tetapi, dalam kasus Indonesia, yang menjadi persoalan justru pada
perumusan apa yang dimaksud dengan “Indonesia”. Isi pelajaran sejarah
Indonesia yang semestinya dapat menjawab pertanyaan tersebut selama ini
ternyata gagal memberikan makna ke-Indonesia-an bagi seluruh warga
bangsa. Makna “Indonesia” yang diciptakan dalam buku-buku pelajaran
sejarah justru mengesankan permusuhan bagi sebagian kelompok di negeri
ini.
Contoh yang paling nyata adalah mengenai peran Islam dan
umat Islam dalam pembentukan Indonesia. Dalam standar kompetensi dan
komptensi dasar yang dibuat BNSPI, peran Islam hanya dibahas di kelas XI
Semester 1 sub bagian 1.3 dan 1.4 setelah penjelasan mengenai
Hindu-Budha pada sub-bagian 1.1 dan 1.2. Pembahasannya diletakan di
bawah bagian analisis perjalanan bangsa Indonesia pada masa
negara-negara tradisional.
Di kelas XI Semester 2, secara
atraktif dan panjang lebar dibahas mengenai pengaruh Barat dan sejarah
dunia pada perkembangan Indonesia. Selanjutnya di kelas XII semester 1
dan 2, peristiwa-peristiwa yang telah diceritakan kemudian dibingkai
dengan pengaruh Barat. Sedangkan peran Islam dan umat Islam tidak
terlalu banyak disinggung, baik pada periode kolonial, kebangkitan
nasional, perjuangan kemerdekaan, ataupun pada saat perumusan
konstitusi jaman pra-Orde Baru yang sangat kental pertentangan
ideologinya (baca: Islam vs nasionalis-sekuler).
Setting
kurikulum semacam ini seolah mengisyaratkan bahwa setelah era
kerajaan-kerajaan Islam sebagai kekuasaan tradisional, tidak ada lagi
kisah tentang “Islam”. Kalaupun beberapa kisah organisasi Islam
diselip-selipkan, seperti keberadaan Sarekat Islam, Masyumi,
Muhammadiyah, NU, dan PPP, sama sekali tidak mengisyaratkan adanya
peran “Islam” bagi bangsa Indonesia. Seolah-olah keberadaan
organisasi-organisasi Islam ini hanya menjadi pelengkap penderita dalam
Indonesia baru yang ‘dimenangkan’ oleh kaum nasionalis-sekuler, baik
secara politik maupun kebudayaan. Sekalipun mereka Muslim, tetapi mereka
sudah setuju dengan Indonesia yang sekuler!
Perhatikan bagaimana
momen-momen dalam pembentukan Indonesia diabaikan tanpa makna seperti
terumuskannya Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan perdebatan 18 Agustus 1945
yang akhirnya melahirkan Pancasila sebagai dasar negara. Kurikulum kita
seolah ingin mengubur ingatan bangsa, bahwa perdebatan yang muncul saat
Indonesia hendak berdiri adalah perdebatan yang didorong oleh pemikiran
keagamaan, dalam hal ini Islam. Bagaimana akhirnya kompromi dicapai
justru bukan antara kelompok sekuler vs sekuler, melainkan antara
kelompok sekuler vs kelompok Islam. Bahkan bila ditelisik, kompromi ini
mengarah kepada diakomodasinya kepentingan umat Islam secara luas
seperti tercermin dalam Piagam Jakarta 22 Juni 1945.
Lebih
mengkhawatirkan lagi, pada saat menceritakan peristiwa-peristiwa
pembangkangan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok agama, justru
menohok Islam. DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) disebut
secara terang-terangan tanpa penjelasan memadai mengenai konteks
politik kemunculannya sehingga ditemukan kewajarannya. Demikian pula
pada kasus PRRI yang banyak didukung oleh mantan aktivis Masyumi.
Padahal, baik Kartosuwiryo maupun aktivis Masyumi yang tergabung dalam
PRRI seperti M. Natsir, adalah para tokoh yang berdarah-darah mendirikan
dan memperjuangkan Indonesia. Akan tetapi, setting kurikulum
saat ini justru memojokkan Kartosuwiryo dan M. Natsir sebagai “penjahat”
karena dianggap terlibat dalam gerakan “pemberontakan”, tanpa analisis
mendalam untuk mendudukan secara adil posisinya dalam sejarah.
Disadari
ataupun tidak, kurikulum tersebut telah memposisikan Islam yang menjadi
anutan mayoritas penduduk Indonesia sebagai trouble maker. Islam tidak
dilihat sebagai unsur terpenting dalam pembangunan bangsa. Padahal
sepanjang sejarah modern Indonesia; baik secara budaya, sosial,
ekonomi, maupun politik; peran Islam dan umat Islam begitu besar dalam
memperjuangkan, mendirikan, memepertahankan, dan membangun bangsa ini.
Pada saat yang sama, anasir-anasir sekular- baik dalam wujud ide maupun
gerakan- justru dianggap sebagai pihak yang paling “benar” dan paling
berhak atas Indonesia.
Dengan pola kurikulum seperti itu, secara
halus siswa seolah diajarkan bahwa menjadi Islam tidak bisa bersamaan
menjadi “Indonesia” karena Islam di Indonesia adalah pengacau,
pemberontak, dan bahkan teroris. Umat Islam yang ingin menjadi muslim
yang kâffah justru termajinalkan dan tersingkir dari kehidupan berbangsa
dan bernegara. Sehingga negara perlu melakukan intropeksi diri apabila
kemudian bermunculan gerakan-gerakan berjejaring internasional- yang
mengatasnamakan Islam- dan tidak terlampau senang untuk sepenuhnya
menjadi Indonesia. Bila jaman Muhammad Yamin, menjadi Indonesia berarti
harus ke-Hindu-Hindu-an, sementara sejak era Suharto hingga saat ini,
menjadi Indonesia berarti harus menjadi “sekuler”.
Nasionalisme
Indonesia yang dibangun di atas nilai sekularisme akan sangat
merugikan bangsa ini. Sekularisme tidak pernah memberikan nilai terdalam
bagi tindakan seseorang. Ujung dari sekularisme hanyalah pragmatisme
kebendaan. Oleh sebab itu, tidak heran bila kemudian lahir
generasi-generasi pragmatis “tanpa nilai” yang hanya peduli dengan
Indonesia bila secara materi menguntungkan. Bila tidak, tanpa rasa
menyesal mereka akan katakan, Go to hell Indonesia!, kemudian
menghalalkan berbagai cara untuk memperkaya diri walaupun harus
mengeksploitasi kekayaan negeri ini dan mengorbankan kepentingan
bangsanya.
Sekularisme juga telah membuka kotak Pandora hubungan
antar-agama di Indonesia. Setelah sekularisme ditahbiskan menjadi dasar,
mau tidak mau, hubungan antar-agama pun harus didefiniskan mengikuti
selera sekuler. Pluralisme yang berakar pada tradisi filsafat perennial
kemudian menjadi pilihan. Filsafat perennnial sangat bertentangan
dengan doktrin atau kepercayaan umat beragama dalam meletakkan posisi
agama mereka. Maka tidak mengherankan bila pluralisme-sekuler mendapat
tentangan keras dari berbagai tokoh agama. Representasi mayoritas
pemimpin Muslim di MUI kemudian harus turun tangan mengeluarkan fatwa
haram Pluralisme, Sekularisme, dan Liberalisme pada tahun 2005.
Sesungguhnya,
apabila akar kebudayaan bangsa ini dikembalikan pada fakta dan realitas
bahwa Islam sebagai way of life, telah terbukti mampu menorehkan
tinta emas dalam sejarah peradaban Indonesia dan dunia, tentulah
hal-hal seperti di atas tidak perlu terjadi. Keberadaan Islam sebagai
kekuatan mayoritas di negeri ini pun akan menjadi konstruktif dalam
membangun makna ke-Indonesiaan sehingga tidak perlu lagi berbenturan
dengan masalah keyakinan. Dengan begitu, Islam akan tampil sebagai
kekuatan raksasa yang diharapkan mampu menjadi penopang utama
pembangunan bangsa ini.